Lokasi : Di Dukuh
Sidodadi, Desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan. Kira-kira 750 m di
sebelah selatan Candi Kedaton dan Sumur Upas.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Menurut
cerita rakyat, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum
niagawan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu
Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian
dibuat petilasan untuk menandai peristiwa itu. Tralaya berasal dari
kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat
pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat. Kata
setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.
Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.
Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.
Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut). Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
Dahulu komplek makam Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2 Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C. Damais seorang sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO (Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957. Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.
Kepurbakalaan yang ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit. Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M. Dalam buku The Malay Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya (Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan orang-orang pribumi.
Adanya situs makam ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth, Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi kurun waktu antara 1368–1611 M.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari kepercayaan masyarakat.
Kesimpulannya bahwa ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian belakang (barat laut). Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan berturut-turut sebagai berikut :
- Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
- Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
- Makam yang dikenal sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab kutipan surah Ali Imran ayat 18.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
- Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.
Sebagian
dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal
yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan
pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara
unsur-unsur lama unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya
akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam. Sedangkan apabila
diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah
thoyyibah dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih
pemula dalam mengenal Islam.
Dengan banyaknya peziarah yang
datang ke kompleks makam ini mempunyai nilai positif bagi masyarakat
sekitar situs. Dampak posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi, di
mana pendapatan masyarakat sekitar menjadi bertambah.
Hal ini
menjadi perhatian dari pemerintah daerah untuk membangun sarana dan
prasarana yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun demikian
terdapat juga sisi negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan
prinsip-prinsip pelestarian.Dari keadaan sekarang yang ada di situs
Makam Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana bangunan yang ada menyimpang
dari penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1) dan (2)
disebutkan bahwa
pemugaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan
tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan situs Troloyo dalam arti
luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara lain denah halaman
makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah halaman yang
dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap, serta
jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat
terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.
Kasus
pengembangan Makam Troloyo ini dapat menjadi pelajaran bagi kita, agar
dikelak kemudian hari tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa pada situs
yang lain, mengingat dewasa ini semakin maraknya perhatian Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap situs-situs kepurbakalaan yang
bersifat living monument
Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok
makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut).
Makam di bagian depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali Sanga,
Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana
Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula
Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung
atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi:
Bangunan cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara
Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam
Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih
Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo palon, Emban Kinasih
dan Polo Putro
Posting Komentar