BREAKING NEWS

Join the Club

Jumat, 23 Januari 2015

3 Pengedar Sabu-sabu Asal Mojokerto di Tangkap Polisi

image: solopos.com

MAJA mojokerto | Sebanyak 3 orang sindikat pengedar sabu-sabu ditangkap Polres Mojokerto. Mereka ditangkap di 2 lokasi yang berbeda yakni pinggir jalan raya Pacing, Kecamatan Bangsal dan di pinggir jalan raya Pacet.   Mereka adalah Miseran warga kelurahan Purwotengah - Kecamatan Magersari, Ismail Waluyo warga kelurahan Gedangan - Kecamatan Magersari dan Bintoro warga dusun Pacet Utara - Kecamatan Pacet. AKP Sahari – Kasat Narkoba Polres Mojokerto kepada Bagus Muslihin - Reporter Maja FM, Jumat (23/01/2015) mengatakan, Miseran dan Ismail ditangkap lebih dulu kemarin sekitar pukul 16.00 WIB dipinggir jalan raya Pacing. “Awalnya polisi yang sedang patroli melihat gerak-gerik kedua orang tersebut mencurigakan. Setelah diintai, polisi melihat keduanya mengeluarkan satu poket sabu dari dalam sakunya dan langsung di grebek”, kata AKP Sahari. Setelah di grebek, keduanya yakni Miseran dan Ismail langsung dibawa ke Mapolres Mojokerto. Mereka mengaku mendapat barang haram itu dari Bintoro warga Pacet. Tanpa menunggu lama polisi langsung menggerebek Bintoro dipinggir jalan raya Pacet saat menunggu seorang pembeli. “Ketiga tersangka itu kini mendekam di sel tahanan Polres Mojokerto. Mereke dijerat dengan undang-undang narkotika dengan ancamn 20 tahun penjara”, katanya. (and)

Kondisi Geografis Kabupaten Mojokerto

 

Kondisi Geografis Daerah

Luas dan Batas Wilayah

Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, dimana luas wilayah seluruhnya adalah 969.360 Km2 atau sekitar 2,09% dari luas Provinsi Jawa Timur, dengan rincian penggunaan/pemanfaatan areal sebagai berikut: 
- Pemukiman                       :       132,440 Km2
-  Pertanian                          :       371,010 Km2
-  Hutan                               :       289,480 Km2
         -  Perkebunan                      :       170,000 Km2
-  Rawa-rawa/waduk             :           0,490 Km2
-  Lahan kritis                      :           0,200 Km2
-  Padang rumput                 :           1,590 Km2
-  Semak-semak/alang-alang :           0,720 Km2
Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Mojokerto ini dari tahun ke tahun mengalami peralihan fungsi, misalnya lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi lahan pemukiman, pekarangan, bangunan dan lahan industri serta sebagian lagi dialihkan menjadi jalan.
Kabupaten Mojokerto memiliki batas-batas administratif sebagai berikut :
-  Sebelah Utara           :    Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Gresik
-  Sebelah Timur          :    Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan
-  Sebelah Selatan        :    Kota Batu
-  Sebelah Barat           :    Kabupaten Jombang
-   Sedangkan ditengah-tengah terdapat wilayah Kota Mojokerto.

Letak dan Kondisi Geografis

Secara geografis wilayah Kabupaten Mojokerto terletak antara 111°20’13” s/d 111°40’47” Bujur Timur dan antara 7°18’35” s/d 7°47” Lintang Selatan.
Secara administratif Kabupaten Mojokerto masuk Wilayah Kerja Badan Koordinasi Wilayah Pemerintahan dan Pembangunan Bojonegoro, sedangkan secara spatial Tata Ruang Jawa Timur adalah masuk dalam kawasan pengembangan “Gerbang Kertosusila”. Kabupaten Mojokerto terdiri atas 18 Kecamatan, 299 Desa dan 5 Kelurahan dengan perincian berikut ini :
Jumlah Desa dan Kelurahan tiap Kecamatan Tahun 2013
No.
Kecamatan
Jumlah
Kelurahan
Desa
1.
2.
3.
4.
5.
      6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Trowulan
Sooko
Puri
Bangsal
Mojoanyar
Gedeg
Kemlagi
Dawarblandong
Jetis
Mojosari
Ngoro
Pungging
Kutorejo
Dlanggu
Jatirejo
Gondang
Pacet
Trawas
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
-
-
-
-
-
-
-
-
16
15
16
17
12
14
20
18
16
14
19
19
17
16
19
18
20
13
Jumlah
5
299
Sumber data: Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Mojokerto,Tahun 2013

    Topografi

Berdasarkan struktur tanahnya, wilayah Kabupaten Mojokerto cenderung cekung ditengah-tengah dan tinggi di bagian selatan dan utara. Bagian selatan merupakan wilayah pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, yaitu meliputi Kecamatan Pacet, Trawas, Gondang, dan Jatirejo. Bagian tengah merupakan wilayah dataran sedang, sedangkan bagian utara merupakan daerah perbukitan kapur yang cenderung kurang subur.                                                                     
Tinggi dan Luas Daerah Menurut Kecamatan
No.
Kecamatan
Tinggi Rata-Rata dari Permukaan Laut (m)
Luas Daerah*) (Km2)
1.
Jatirejo
140
107,62
2.
Gondang
240
98,62
3.
Pacet
470
107,98
4.
Trawas
600
58,00
5.
Ngoro
120
70,50
6.
Pungging
100
45,00
7.
Kutorejo
170
43,50
8.
Mojosari
100
28,85
9.
Bangsal
60
25,84
10.
Mojoanyar
54
23,37
11.
Dlanggu
120
35,82
12.
Puri
70
34,65
13.
Trowulan
60
45,93
14.
Sooko
64
19,30
15.
Gedeg
36
26,18
16.
Kemlagi
52
42,35
17.
Jetis
60
53,05
18.
Dawarblandong
75
102,80
 Kab. Mojokerto
64
969,36
Keterangan :
*)  Luas daerah termasuk hutan negara
          Sumber data : BPS Kabupaten Mojokerto,Tahun 2013
Sekitar 30% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Mojokerto, tingkat kemiringan tanahnya lebih dari 15 derajat, sedangkan sisanya merupakan wilayah dataran sedang dengan tingkat kemiringan kurang dari 15 derajat.
Pada umumnya tingkat ketinggian  wilayah di Kabupaten Mojokerto rata-rata berada kurang dari 500 meter diatas permukaan laut, dan hanya Kecamatan Pacet dan Trawas yang merupakan daerah terluas yang memiliki daerah dengan ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut.
Ketinggian Lahan
Berdasarkan ketinggian lahan, wilayah Kabupaten Mojokerto terletak antara 15 sampai dengan di atas 600 meter dari permukaan laut. Ketinggian lahan dari permukaan laut merupakan salah satu faktor yang menentukan jenis peruntukannya, oleh karena itu ketinggian lahan merupakan salah satu penentu dalam menetapkan wilayah tanah usaha. Luas daerah berdasarkan ketinggian tempat  adalah sebagai berikut :
Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian
No.
   Ketinggian Tempat (meter)
Luas
Ha
%
1.
2.
0  –    500
500  –  1000
849.98
119.28
87,69
12,31

Total
969.36
100,00
Sumber Data : BPS Kabupaten Mojokerto, Tahun 2013
sumber artikel

RIWAYAT SINGKAT SEJARAH KABUPATEN MOJOKERTO


Dengan melihat sinyal pada pasal-pasal dua Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 22/Tap/Kdh/1973 tanggal 12 September 1973, bahwa Ketetapan tentang hari jadi tersebut bersifat sementara, maka pada masa kepemimpinan Bupati Mojokerto H. Mahmoed Zain, SH, M Si sejak awal menjabat, mulai mengadakan pendekatan, mengingat hari jadi Kabupaten Mojokerto yang telah ditetapkan pada Mojokerto yang mempunyai akar sejarah berkaitan erat dengan kebesaran Kerajaan Mojopahit. Maka mulailah dilakukan berbagai upaya untuk menelusuri hari jadi Mojokerto yang lebih berakar kepada perjuangan para pendahulu bangsa ketika pada saat kejayaannya, untuk dijadikan semangat dalam membangun dan mengabdi kepada Negara dan Bangsa saat ini serta dapat memberikan gambaran untuk mampu memberikan loncatan prestasi dimasa mendatang dengan menggali potensi yang ada di daerah.
Upaya pendekatan tersebut antara lain :
  1. Pada tanggal 20 Agustus 1991 dilaksanakan "Seminar Sehari" dengan thema "Kabupaten Mojokerto Menyongsong Hari Esok"
  2. Pada tanggal 8 September 1992, dilaksanakan simposium Menyongsongg Tujuh Abad Mojopahit, yang dihadiri oleh Bapak Sekjen Depdagri, Gubernur Kepala Daerah tingkat I Jawa Timur, Javanologi Surabaya, Pakar-pakar sejarah baik yang datangnya dari Kabupaten Mojokerto sendiri maupun dari luar daerah.
  3. Disamping itu, berbagai pihak telah memberikan sumbang saran seperti dari kalangan Cerdik Cendikiawan, dari perguruan tinggi dari instansi baik yang datangnya dari Kabupaten Mojokerto sendiri maupun dari luar daerah.
  4. Pembentukan Tim Penulisan Sejarah dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 438 Tahun 1992 tentang Pembentukan Tim Penulisan Sejarah Mojokerto.
Dengan memperhatikan rentetan peristiwa yang terjadi maka dapat ditetapkan 8(delapan) alternatif untuk dipertimbangkan sebagai Hari Jadi Mojokerto yaitu :
  1. Pertemuan antara Perdana Menteri Mojopahit, Shi - nan - da - cha - ya dengan shih-pi, Panglima tertinggi pasukan Tar-Tar, dapat dipandang sebagai wujud pengakuan diplomatik atas Negara berdaulat dalam rangka kerjasama Internasional untuk menyerang Doho. Hal ini akan mengacu pada tanggal 1 bulan ke 3 Tarikh Cina atau tanggal 8 April 1293.
  2. Pada saat Raden Wijaya mulai mengatur strategi untuk melawan pasukan Tar-tar, saat ia memperoleh ijin dari kota Kediri ke Mojopahit pada tanggal 2 bulan ke 4 Tarikh Cina. Titik waktu ini merupakan titik awal kemenangan diplomatik dan militer dipihak Raden Wijaya, karena mulai saat tersebut secara bertahab ia berhasil mengalahkan pasukan Tar-Tar. Dalam Tarikh Masehi peristiwa tersebut adalah tanggal 9 Mei 1293.
  3. Titik waktu tentara Mojopahit memperoleh kemenangan total terhadap pasukan Tar-tar. ini berarti mengacu pada keputusan pimpinan pasukan Tar-tar untuk meninggalkan Pat-shieh, pada tanggal 24 bulan 4 Tarikh Cina atau tanggal 31 Mei 1293. Titik waktu ini ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
  4. Titik waktu penobatan Raden Wijaya sebagaimana diceritakan pada Kitab Harsa Wijaya atau Titik waktu penerbitan Prasasti Gunung Botak.
  5. Dari Khasanah Kidung, juga menunjukkan titk waktu peristiwa penting dalam sejarah Mojopahit. 
  6. Dari khasanah prasasti juga ditemukan titk waktu peristiwa yang erat kaitannya dengan sejarah Mopahit. Kidung Harsa Wijaya menyebutkan bahwa Penobatan Raden Wijaya sebagai Raja Terjadi pada tanggal 12 Nopember 1293 (1215 C). Titik waktu ini dikemudian dikenal sebagai Hari Mojopahit. Prasasti Gunung Botak yang diterbitkan pada tanggal 11 September 1294 memberitakan secara panjang lebar riwayat Rajakuta Mojopahit.
  7. Perjanjian Gianti yang tangani pada tanggal 13 Pebruari 1755.
  8. Saat ditanda tangani penyerahan Kabupaten Japan pada tanggal 1 Agustus 1812 oleh Kesultanan Jogyakarta kepada Perintah Inggris di Jawa.
Selanjutnya setelah melalui proses pembahasan didalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Mojokerto, mengenai Hari Jadi Kabupaten Mojokerto telah disepakati bahwa Hari Jadi Kabupaten Mojokerto adalah tanggal 9 Mei 1293 Masehi, dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor : 09 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993, tentang persetujuan Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Mojokerto saat itu H. Mahmoed Zain, SH mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor : 230 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto.
Dari uraian-uraian tersebut diatas disimpulkan bahwa :
Dengan tidak diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto tanggal 12 September 1973 Nomor : 22/TAP/Kdh/1973 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Hari jadi Mojokerto adalah tanggal 09 Mei 1293 Masehi yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari jadi Kabupaten Mojokerto.

RIWAYAT SINGKAT HARI JADI KABUPATEN MOJOKERTO

                  Dengan melihat sinyal pada pasal-pasal dua Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 22/Tap/Kdh/1973 tanggal 12 September 1973, bahwa Ketetapan tentang hari jadi tersebut bersifat sementara, maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto H. MAHMOED ZAIN, SH. sejak awal menjabat, mulai mengadakan berbagai upaya pendekatan, mengingat hari jadi Kabupaten Mojokerto yang lebih ditetapkan pada tanggal 12 September 1938 kurang memberikan etos kerja dan jatidiri masyarakat Kabupaten Mojokerto yang mempunyai akar sejarah berkaitan erat dengan kebesaran Kerajaan Mojopahit. Maka mulailah dilakukan berbagai upaya untuk menelusuri hari jadi Mojokerto yang lebih berakar kepada perjuangan para pendahulu bangsa ketika pada saat kejayaannya, untuk dijadikan semangat dalam membangun dan mengabdi kepada Negara dan Bangsa saat kini serta dapat memberikan gambaran untuk mampu memberikan loncatan prestasi dimasa mendatang dengan menggali potensi yang ada di daerah. Upaya pendekatan tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Pada tanggal 20 Agustus 1991 dilaksanakan “Seminar Sehari” dengan thema “Kabupaten Mojokerto Menyongsong Hari Esok”.
2. Pada tanggal 8 September 1992, dilaksankan simposium Menyongsong Tujuh Abad  Mojopahit, yang dihadiri oleh Bapak Sekjen Depdagri, Gubernur Kepala Daerah Tingkat
    I Jawa Timur, Javanologi Surabaya, Pakar-pakar sejarah baik dari Perguruan Tinggi maupun Dinas/Instansi terkait.
3. Disamping itu, berbagai pihak telah memberikan sumbang saran seperti dari kalangan Cerdik Cendekiawan, dari Perguruan Tinggi, dari Instansi, baik yang datangnya dari
    Kabupaten Mojokerto sendiri maupun dari luar Daerah.
4. Pembentukan Tim Penulisan Sejarah dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor 438 Tahun 1992 tentang Pembentukan Tim Penulisan Sejarah
    Mojokerto.
             
Dengan memperhatikan rentetan peristiwa yang terjadi maka dapat ditetapkan 8 (delapan) alternatif untuk dipertimbangkan sebagai Hari Jadi Mojokerto, yaitu :
1. Pertemuan antara Perdana Menteri, Sih-la-nan-da-cha-ya dengan shih-pi, Panglima tertinggi
pasukan Tar-Tar, dapat dipandang sebagai wujud pengakuan diplomatik atas Negara
berdaulat dalam rangka kerjasama Internasional untuk menyerang Doho.
Hal ini akan mengacu pada tanggal 1 bulan ke 3 Tarikh Cina atau tanggal 8 April 1293.
Kabupaten Mojokerto/Mojokerto Regency

2. Pada saat Raden Wijaya mulai mengatur strategi untuk melawan pasukan Tar-Tar, saat ia
memperoleh ijin dari Panglima perang Tar-Tar untuk kembali dari kota Kediri ke Mojopahit
pada tanggal 2 bulan ke 4 Tarikh Cina.
Titik waktu ini merupakan titik awal kemenangan diplomatik dan militer dipihak Raden
Wijaya, karena mulai saat tersebut secara bertahap ia berhasil mengalahkan pasukan Tar-Tar.
Dalam Tarikh Masehi peristiwa tersebut adalah tanggal 9 Mei 1293.
3. Titik waktu tentara Mojopahit memperoleh kemenangan total terhadap pasukan Tar-Tar. Ini
berarti mengacu pada keputusan pimpinan pasukan Tar-Tar untuk meninggalkan Pat-tsieh,
pada tanggal 24 bulan ke 4 Tarikh Cina atau tanggal 31 Mei 1293.
Titik waktu ini ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya.
4. Titk waktu penobatan Raden Wijaya sebagaimana diceritakan pada Kitab Harsa Wijaya atau
Titik waktu penerbitan Prasasti Gunung Botak.
5. Dari Khasanah kidung, juga menunjukkan titik waktu peristiwa penting dalam sejarah
Mojopahit.
6. Dari Khasanah prasasti juga ditemukan titik waktu peristiwa yang erat kaitannya dengan
sejarah Mojopahit.
Kidung Harsa Wijaya menyebutkan bahwa Penobatan Raden Wijaya sebagai Raja terjadi
pada tanggal 12 November 1293 (1215 C). Titik waktu ini dikemudian dikenal sebagai Hari
Jadi Mojopahit.
Prasasti Gunung Botak yang diterbitkan pada tanggal 11 September 1294 memberitakan
secara panjang lebar riwayat Rajakuta Mojopahit.
Namun demikian prasasti tersebut diterbitkan dalam rangka peningkatan status politik desa
Kudadu.
7. Perjanjian Gianti yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1755.
8. Saat ditandatangani penyerahan Kabupaten Japan pada tanggal 1 Agustus 1812 oleh
Kesultanan Jogyakarta kepada Pemerintah Inggris di Jawa.
Selanjutnya setelah melalui proses pembahasan didalam sidang-sidang Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Mojokerto, mengenai Hari Jadi Mojokerto telah disepakati
bahwa Hari Jadi Mojokerto adalah tanggal 09 Mei 1293 Masehi, dengan Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Nomor : 09 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993, tentang persetujuan
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Mojokerto H. MAHMOED ZAIN, SH mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kepala
Kabupaten Mojokerto
Daerah Tingkat II Mojokerto Nomor : 230 Tahun 1993 tanggal 8 Mei 1993 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto. Sebagai pelengkap perkembangan Pemerintah Kabupaten Mojokerto, Bupati yang menjabat sejak Tahun 1811 berturut-turut adalah sebagai berikut :
No. Nama Lamanya menjabat
NO.
NAMA BUPATI
LAMA MENJABAT
01.
R. ADIPATI PRAWIRODIRDJO
16 Th. (1811 – 1827)
02.
R. ADIPATI TJONDRO NEGORO
23 Th. (1827 – 1850)
03.
R. TUMENGGUNG PANDJI TJONDRO NEGORO
13 Th. (1850 – 1863)
04.
R. TUMENGGUNG KERTOKUSUMO
3 Th. (1863 – 1866)
05.
R. ADIPATI ARIOKROMODJOJO ADINEGORO
18 Th. (1866 – 1894)
06.
PUTERA R.A.A KROMODJOJO ADINEGORO
22 Th. (1894 – 1916)
07.
R. ADIPATI KROMO ADINEGORO
17 Th. (1916 – 1933)
08.
M.NG. REKSO AMITPRODJO
2 Th. (1933 – 1935)
09.
R. T.A.A. REKSO AMITPRODJO
10 Th. (1935 – 1945)
10.
DOKTER SOEKANDAR
2 Th. (1945 – 1947)
11.
M. PAMUDJI
2 Th. (1947 – 1948)
12.
R. T.A.A. REKSO AMIT PRODJO
2 Th. (1948 – 1949)
13.
R. AMIN NOTO WIDJOJO
1 Th. (1949 – 1950)
14.
R. SOEHARTO
8 Th. (1950 – 1958)
15.
R. ARDI SRIWIDJOJO
7 Th. (1958 – 1965)
16.
R. ACHMAD BASOENI, MAYOR INF.
9 Th. (1965 – 1974)
17.
K. SUPENO SOERJOATMODJO
1 Th. (1974 – 1975)
18.
H.D. FATCHOERROCHMAN
10 Th. (1975 – 1985)
19.
Drs. KOENTO SOETEDJO
5 Th. (1985 – 1990)
20.
MACHMOED ZAIN, SH. MSi
5 Th. (1990 – 1995)
21.
MACHMOED ZAIN, SH. MSi
5 Th. (1995 – 2000)
22.
Drs. H. ACHMADY, MSi. MM.
5 Th. (2000 – 2005)
23.
Dr. Drs. H. ACHMADY, MSi. MM.
3 Th (2005 – 2008)
24.
Drs. H. SUWANDI, MM
2 Th (2008 – 2010)
25.
H. MUSTOFA KAMAL PASA, SE
(2010  Sampai sekarang)

Dari uraian-uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :
Dengan tidak diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mojokerto tanggal 12 September 1973 Nomor : 22/TAP/Kdh/1973 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Mojokerto, maka Hari Jadi Mojokerto adalah tanggal 09 Mei 1293 Masehi yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Mojokerto.
(Dikutip dari : Buku Kerja 2004, Pemerintah Kabupaten Mojokerto)
sumber artikel

PERCEPATAN PENATAUSAHAAN URUSAN PERTANAHAN DI WILAYAH KABUPATEN MOJOKERTO

PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN KANTOR PERTANAHAN KAB.MOJOKERTO TENTANG PERCEPATAN PENATAUSAHAAN URUSAN PERTANAHAN DI WILAYAH KABUPATEN MOJOKERTO

Pemerintah Kabupaten Mojokerto gelar penandatanganan kesepakatan dengan kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto, Selasa 20 Januari 2015 di rumah dinas bupati, Griya Wira Bhakti Praja. Hal ini sebagai salah satu upaya pembenahan aset pemerintah daerah dimana bahwa pengelolaan aset menjadi penilaian krusial dalam penentuan opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) pada pemeriksaan LPKD setiap tahunnya. Dengan demikian upaya kenaikan grade opini harus berbanding lurus dengan upaya pembenahan aset.
Ir. Mieke Juli Astuti, M.Si, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Mojokerto, mengatakan maksud dan tujuan dilaksanakan kesepakatan bersama adalah untuk percepatan penatausahaan urusan pertanahan di wilayah Kabupaten Mojokerto. Dan mewujudkan tertib administrasi serta memberikan jaminan kepastian juga perlindungan hukum terhadap tanah aset Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Dengan memberikan prioritas pelayanan melalui percepatan penatausahaan urusan pertanahan.
Hasil yang diharapkan dari kesepakatan tersebut dapat terselesaikannya pensertifikatan tanah pemerintah Kabupaten Mojokerto, yaitu, sebanyak 872 bidang tanah seluas 271 Ha belum tersertifikat. Dan sebanyak 134 bidang tanah seluas 45,7 Ha belum balik nama ke pemerintah Kabupaten Mojokerto. “Total luas tanah 316,73 Ha yang nantinya akan ditargetkan terselesaikan melalui kesepakatan ini,” ujar Mieke, Kepala BPKA.
Terkait hal tersebut, Mieke menyampaikan pada semester I tahun anggaran 2015 ini, direncanakan me-launching secara online aplikasi Simbada yang dilengkapi fitur GIS (Graphic Information System) yang terhubung dengan Google Map untuk memudahkan pengamanan aset dan update aset secara informatif dan menarik serta telah disesuaikan dengan kebijakan Akutansi berbasis Acrual.
Sementara itu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto, Suwanto, S.Sos,MM,MH menyambut baik kesepakatan ini demi percepatan penatausahaan urusan pertanahan di wilayah Kabupaten Mojokerto. “Dua hal yang menjadi focus proses percepatan pensertifikatan yaitu fisik dan yuridis. Fisik nantinya akan dimulai dengan pengukuran tanah dan selanjutnya secara yuridis akan dapat diselesaikan setelah proses fisik terselesaikan,” ujar Suwanto.
 Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasa, SE menyampaikan momentum ini penting dalam sejarah pengelolaan aset pemerintah daerah. “Ini adalah kali pertama kita membangun kesepakatan bersama yang bertujuan untuk percepatan pensertifikatan tanah. Untuk itu semoga pertanahan dapat membantu pemerintah daerah guna percepatan penatausahaan urusan pertanahan di wilayah Kabupaten Mojokerto,” harap MKP. Penandatanganan dihadiri oleh sekretaris daerah dan kepala SKPD terkait. (Bagian PDE+Bagian Humas Protokol) sumber artikel

Majapahit Park: Kontroversi seputar rencana pembangunan theme park Majapahit



Rencana pembangunan Majapahit Park yang sedang dilangsungkan proses penggalian pondasinya, sudah memicu perhatian publik, terutama mereka yang memiliki perhatian terhadap kelangsungan sejarah negeri yang jauh lebih bernilai daripada bangunan Belanda. Kekayaan peninggalan nenek moyang yang ternyata berada dibawah lahan yang akan dipakai sebagai tempat didirikannya Majapahit Park sudah menampakkan diri setelah berabad-abad terkubur dalam tanah Majapahit.
Kerusakan paling dini sudah dideteksi dan dipublikasikan lewat koran Kompas edisi 4 Januari 2009 yang langsung mendapatkan berbagai tanggapan berisi kecaman, keprihatinan, sekaligus seruan penghentian perusakan situs Majapahit tersebut. Diantara situs paling nyata yang terlihat pada perusakan akibat pembangunan pondasi, adalah jobong atau sumur tua peninggalan Majapahit yang dibuat dari batu-bata. Melihat jobong tersebut, maka kita bisa menyimpulkan sementara bahwa area ini adalah peninggalan yang tidak termasuk dalam bangunan berskala besar seperti kolam segaran (kolam raksasa) di area tersebut, namun justru menyimpan kemungkinan bahwa area ini boleh jadi berisi situs yang akan menceritakan banyak sekali hal tentang kehidupan keseharian di sekitar kerajaan Majapahit masa silam.
Memang hal ini bukan yang pertama terjadi, mengingat keseluruhan kompleks perumahan disekitar situs Majapahit dipercaya berdiri diatas peninggalan kerajaan yang diatasnya sudah tertutup oleh rumah-rumah rakyat. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah masih belum dapat melindungi dan melestarikan peninggalan nenek moyang yang menjadi kebanggaan kita. Saya belum merasa heran akan hal ini, mengingat perusakan seperti ini sudah sangat lumrah terjadi, seperti penjualan peninggalan purba ke luar negeri melalui pasar gelap.
Menurut media, kesalahan pemilihan lokasi Majapahit park sudah disadari oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, dan diikuti oleh larangan keras setiap wartawan ataupun pribadi yang ingin mengabadikan perusakan tersebut (yang tentunya hal ini bisa memicu berbagai opini, tentang upaya menutupi perusakan situs tersebut).
 Dari sisi desain, perencanaan desain ini dipandang oleh beberapa pihak sebagai opini, merupakan perencanaan yang kurang tepat sasaran, diakibatkan oleh kesalahan pemilihan lokasi, yang akhirnya berpotensi pada kegagalan keseluruhan proyek Majapahit Park, untuk ditindaklanjuti dengan pemilihan lokasi baru atau rencana desain baru, sebuah pil pahit untuk semua pihak yang terlibat dalam proyek ini, termasuk para arsitek yang bersangkutan yang mulai tercemar nama baiknya.
Terdapat pihak-pihak pemerhati desain yang tampaknya berkeberatan akan keberadaan desain yang lebih mengedepankan konsep entertainment park karena dipandang bisa menyesatkan, akibat nilai historis yang dapat tertutupi oleh situasi konsep Majapahit Park yang lebih mirip Theme Park bergaya modern daripada pengalaman pada nilai historis dari peninggalan situs Majapahit. Meskipun demikian, upaya menghadirkan kembali kosakata arsitektural yang ditinggalkan oleh nenek moyang seperti penggunaan arsitektur tradisional sebagai inspirasi, penggunaan material paling menonjol yaitu material batu bata, bisa menjadi upaya menarik memori masa lalu ke masa depan.(Probo Hindarto)
 (sumber artikel)

Candi Tikus dan Sejarahnya

foto http://berlibur-yuk.blogspot.com
 
Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan, Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan utamanya terdiri dari dua tingkat.
Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati MojokertoKromodjojo Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989.
Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah. Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.
foto http://berlibur-yuk.blogspot.com
foto http://berlibur-yuk.blogspot.com
Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.
Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.
Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.
Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.
Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.
Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.
Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana pemujaan.
Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.
Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan padma, candi tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.
Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan petirtaan. Mengenai keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat dikaitkan dengan uraian dalam kitab Nagarakartagama yang ditulis oleh Prapanca (1385 M). Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.
Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai nama Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar pengamat situs kebudayaan purbakala, salah satu tempat pemandian yang dimaksudkan dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus, terkait dengan letak bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.
Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.
Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan eksotisme bangunan tersebut.
Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam keutuhan candi itu hingga dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan baik.


Simbolis Gunung Meru
Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau simbolis Gunung Meru. Hal itu terkait dengan konsep religi yang melatarbelakangi bangunan candi, di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernet, model tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Meru.
Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisionalis.
Perpaduan konsep Hindu-Buddha dalam bangunan Candi Tikus yang sudah kadung mendarah daging membentuk pola pemikiran dan perilaku masyarakat Jawa. Secara teoritis sebenarnya masyarakat berhasil membangun tempat pemujaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tempat tersebut dipercaya sebagai sarana untuk bersua dengan Sang Penciptanya atau sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakininya.
Lahirnya kebanggaan tersebut secara tidak langsung merupakan percikan dari rasa cinta manusia terhadap zat yang menciptakannya, jangan heran jika kemudian Candi Tikus juga dipersepsikan sebagai salah satu petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu sebab selain sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang sangat kental tergambar dalam model bangunannya.
Berpijak pada akar kronologis dibangunnya ragam candi pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, tidak lepas dari pengaruh sosial-kultural masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih kebanyakan menganut paham Hindu-Buddha sehingga pasca kepemerintahan Kerajaan Majapahit banyak ditemukan situs purbakala yang berbentuk candi.
Pada dasarnya salah satu unsur terbentuknya candi yang mempunyai replika atau simbolis tersendiri semisal Candi Tikus sebagai lambang Gunung Meru, pertama, guna memberi dukungan emosional dan moral. Kedua sebagai sarana memperkukuh hubungan transendental. Ketiga mengeramatkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat. Keempat memberi identitas pada individu dan kelompok. Kelima, erat hubungannya dengan siklus pertumbuhan (life cycle) Sederhananya,
Candi Tikus yang terletak lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya, yaitu pada kedalaman sekitar 3,50 m atau sekitar 46,78 m dari permukaan laut, secara umum bangunan ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22,50 x 22,50 m, apabila dipahami dari konsep yang melatarbelakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri yang ada pada candi tersebut, akan menunjukkan tujuan pembangunan candi itu adalah untuk melambangkan air amrta yang keluar dari gunung.
Simbol-simbol semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan makhluk yang penuh dengan lambang, baginya realitas lebih dari sekadar tumpukan fakta-fakta. Ada semacam simbiosis-mutualisme antara makhluk hidup dengan alam yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya setiap makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang menghidupi keberadaan dirinya.
Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep triloka yang dibangun dari kepercayaan agama Hindu-Buddha dengan menempatkan semesta pada dua versi antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikro-kosmos). Penempatan Candi Tikus sebagai simbol keagungan Gunung Meru, secara tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu keterkaitan yang erat antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya.
Keyakinan semacam itu sebenarnya tumbuh dari pembacaan awal manusia terhadap gejala alam dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak bisa dinafikan pembacaan semacam itu yang termanefestasikan dalam model bangunan Candi Tikus merupakan salah satu pijakan yang membantu terbentuknya pola pemikiran manusia masyarakat Jawa tradisionalis dan peletak pertama dasar-dasar pemikiran masyarakat Jawa secara general.
Lahirnya premis yang mengatakan mempelajari maupun berusaha mengenali peninggalan-peninggalan purbakala secara implisit merupakan bentuk lain dari belajar mengenali keberadaan diri sendiri. Di satu sisi premis tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya karena pada dasarnya peninggalan purbakala selain memiliki momen sejarah yang teramat penting untuk senantiasa diketahui para penerusnya guna menegaskan eksistensinya sebagai masyarakat Jawa.
Di sisi lain, peninggalan purbakala juga menampung beberapa kandungan makna filosofis yang teramat penting untuk dipelajari oleh para generasi muda masyarakat Jawa. Berpijak pada UU No 5/1992, tentang Benda Cagar Budaya Pasal 2 yang berbunyi, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Maka sudah selayaknya pelestarian terhadap peninggalan purbakala seperti Candi Tikus yang terletak di daerah Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto semakin digalakkan. Menziarahi Candi Tikus secara tidak langsung membuka diri untuk memasuki dimensi lain tempat para leluhur masyarakat Jawa melalukan prosesi ritual penyerahan diri terhadap Sang Pencitanya.


Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit
Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru, karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan suatu ritual pemujaan.
Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan bahwa segala bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha (abad V - XV M) sering disebut segabagai candi. Padahal, bangunan-bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana pemujaan. Salah satu contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi adalah candi Tikus di Jawa Timur.
Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 - 1986, candi Tikus yang secara administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi.
Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5 meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan bekas ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural naupun ditinjau dari segi religius.


Dua Tahap Pembangunan
Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.
Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi Tikus ini.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah.
Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran lebih kecil.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).
Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.
Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.
Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di candi Tikus adalah 17.604.915 cm/******* "Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.
Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/******* Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.

Memiliki Kekuatan Magis
Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar kota Majapahit.
Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.
 
Copyright © 2015 MOJOKLIK